7+ Kumpulan Teks Cerpen Terbaik Sesuai Struktur (Terbaru) | Bahasa Indonesia Kelas IX (Revisi)

Bahasa Indonesia | Pada kesempatan kali ini admin akan membagikan kumpulan contoh teks cerpen sesuai dengan struktur teks cerpen yang sebenarnya dalam mata pelajaran bahasa Indonesia kelas IX revisi terbaru K13. Semoga apa yang admin bagikan kali ini dapat membantu anak didik dalam mencari referensi tentang contoh teks cerpen sesuai dengan struktur teks cerpen yang sebenarnya dalam mata pelajaran bahasa Indonesia kelas IX revisi. Dan harapannya, apa yang admin bagikan kali ini dapat memberikan dampak baik untuk anak didik dalam memahami dan membuat teks cerpen terbaik seperti yang admin bagikan ini.

7+ Kumpulan Teks Cerpen Terbaik Sesuai Struktur (Terbaru) | Bahasa Indonesia Kelas IX (Revisi)

1. Teks Cerpen Berjudul Tragedi

Tragedi
By: Triandira

“Lihatlah, bagaimana menurutmu?” ucapmu antusias. “Aku terlihat cantik, bukan?”

“Ya, kau selalu terlihat cantik.”

“Lantas apa lagi yang kau tunggu? Ayo, bantu aku berdandan sekarang.”

Kau menyodorkan peralatan make-up, juga sisir yang sebelumnya tertata rapi di atas meja rias. Memintaku agar membantumu merias diri di hari yang sudah kau nantikan selama ini.

Sebagai calon pengantin kau terlihat sangat bahagia. Senyuman manis bahkan selalu tersungging di wajahmu. Mungkin kau sudah tidak sabar untuk melewati setiap rangkaian acara yang akan menjadi bukti penyatuan cinta kalian berdua. Saling mengucapkan janji suci untuk setia sehidup semati. Menjalani hari-hari dalam keadaan suka maupun duka.

Andai saja aku bisa merasakan juga kebahagiaan itu, pasti sudah kulakukan apa yang kau inginkan. Tapi pada kenyataannya, justru kesedihanlah yang kurasakan saat ini.

“Ah, sepertinya warna ini terlalu terang. Aku tidak suka.”

Aku terpatung. Menatap wajahmu dari cermin dengan mata berkaca-kaca. Sementara itu kau masih saja meracau tanpa menyadari sesuatu dan hatiku semakin sakit mendengar apa yang kau ucapkan.

“Hey, apa yang kau lakukan?” katamu membuyarkan lamunanku. “Cepatlah, atau aku akan terlambat nanti.”

“Lis….”

“Ah, kau ini benar-benar lamban. Berikan padaku!”

“Hentikan, Lis!”

Kau terhenyak. Menatap wajahku dengan tubuh yang gemetar usai aku membentakmu. Sebenarnya aku tidak bermaksud demikian, tapi aku tidak punya pilihan selain melakukan hal itu.

Trauma yang kau rasakan sudah cukup menyedihkan, dan aku tidak ingin melihatmu semakin terluka.

“Sadarlah,” bisikku sambil memelukmu dengan erat. “Kumohon jangan seperti ini lagi.”

Seketika keheningan menyergap di antara kita. Tak ada lagi yang terdengar selain isak tangis yang mendera. Saat itu mungkin kau sudah mengingat apa yang telah menimpa Roni calon suamimu, di hari pernikahan kalian.

Kita sama-sama tahu bahwa takdir telah merenggutnya darimu, tapi terpuruk dalam waktu yang lama bukanlah sebuah jawaban.

Hidup terus berjalan, dan masa lalu yang kelam seharusnya tidak menjadi penghalang bagimu untuk merasakan kebahagiaan. Apalagi sampai membuatmu berputus asa.

“Cobalah untuk mengikhlaskan kepergiannya,” bisikku. Kau mengangguk sambil terus terisak.

Setelah puas menumpahkan air mata, aku menyuruhmu duduk di tepian ranjang. Di saat kau mulai tenang, aku bergegas merapikan gaun pengantin dan peralatan make up yang berserakan. Sejurus kemudian, kamarmu sudah rapi seperti sedia kala.

“Aku ambilkan minum dulu, ya. Tidak apa-apa kan, kutinggal sebentar?”

Kau mengangguk, menyetujui ucapanku. Tak ingin membuatmu menungggu terlalu lama, aku segera menuju dapur. Mengambil segelas air minum dan semangkuk sup hangat sesuai permintaan ibumu.

Kata beliau, beberapa hari ini kau tidak bersemangat saat makan. Suka mengurung diri di kamar, dan tiba-tiba saja kau bersikap aneh sejak tadi pagi. Karena itulah aku datang menemuimu usai perempuan paruh baya itu meneleponku.

“Bangunlah, Lis. Aku membawakan ini untukmu,” ujarku sambil meletakkan nampan di atas meja.

Tak ada jawaban. Khawatir makanan yang kubawa menjadi dingin, aku membangunkanmu. Menggoyang tubuhmu perlahan sampai akhirnya menyadari sesuatu.

“Aaaa!!!”

Ibumu datang begitu mendengar teriakanku. Menangis tersedu-sedu di samping tubuh anaknya yang sudah terbujur kaku.

Sedangkan aku masih sibuk menyumpal darah yang keluar dari pergelangan tanganmu.

“Bangun, Lis!” jeritku dengan suara parau. “Banguuun!!!

Aku termangu saat kau tak kunjung membuka mata, juga setelah aku menyadari bahwa kau telah pergi. Menyusul Roni yang telah meninggalkanmu sebelum pernikahan kalian terjadi, seminggu yang lalu. Kenyataan pahit itulah yang akhirnya membuatku kehilanganmu sahabat tercinta, untuk selamanya.

Sumber referensi: titikdua.net 

2. Teks Cerpen Berjudul Belahan Jiwa


Belahan Jiwa

Karya: Triandira

Pagi itu aku menunggunya dengan hati gelisah. Selama dua jam berdiri di pinggir jalan dekat tempatku bekerja. Sebenarnya aku mulai bosan, tapi aku tidak ingin kehilangan kesempatan untuk bertemu dengannya-gadis penjual nasi bungkus yang berhati mulia.

Aku mengenalnya setelah kami mengalami peristiwa yang begitu menyedihkan. Ia kehilangan seseorang yang sangat berharga dalam hidupnya, sedangkan aku kehilangan sesuatu dalam diriku sebab alasan yang menyakitkan.

Tak jarang aku menyesali apa yang sudah terjadi, tapi sekarang justru sebaliknya. Aku bersyukur karena keadaan mulai membaik. Semangatku untuk menjalani hari-hari kembali tumbuh, merasakan lagi kebahagiaan yang telah lama menghilang, juga menemukan secercah harapan yang selama ini kuimpikan. Dan semua itu berkat gadis bernama Nara. Ia yang kini tengah berjalan mendekatiku dengan sebuah keranjang berisi nasi bungkus di tangannya.

“Syukurlah, aku kira kau tidak akan datang,” ucapku dengan senyum yang tersungging di wajah. “Aku terlambat bangun jadi baru selesai membuatnya.”

“Kalau begitu ini masih hangat?”

“Tentu saja.” Ia menyodorkan sebungkus nasi dengan lauk yang kusuka,

“sepertinya kau benar-benar lapar.”

“Apa aku tidak salah dengar? Sudah menunggumu cukup lama, tentu saja aku merasa lapar.”

“Lalu kenapa tidak membeli di tempat lain saja?” “Kau yakin ingin kehilangan satu pelangganmu?”

Kami tertawa. Duduk berdampingan di sebuah bangku panjang yang terletak di dekat pohon rindang. Tempat di mana ia menjajakan dagangannya setiap hari. Menanti para pembeli yang datang dengan suka rela demi mendapatkan nasi bungkus yang enak dan murah.

Ia memang tak berniat mencari keuntungan yang banyak. Baginya, bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari itu sudah cukup. Membawa pulang rupiah untuk ia tukarkan dengan sembako dan kebutuhan kecil lainnya. Sementara untuk mencukupi kebutuhan yang membutuhkan biaya lebih, ia mengandalkan kemampuannya dalam menjahit baju. Beberapa orang sudah menjadi pelanggannya, begitu pun denganku.

Biasanya aku datang ke rumah Nara dengan membawa celana yang sudah robek di beberapa bagian, lalu meminta gadis berparas ayu itu untuk memperbaikinya.

“Apa celanamu robek semua?” ujarnya heran. Sebulan belakangan aku memang sering menghampirinya. Bukan semata-mata karena celanaku robek, melainkan ada sesuatu yang belum bisa kujelaskan kepadanya.

Aku tahu Nara adalah gadis yang baik, karena itulah aku tidak siap kehilangan dirinya. Sebuah risiko yang kemungkinan akan terjadi jika aku berkata jujur – perihal alasan di balik sikap yang kutunjukkan. Apalagi jika peristiwa tiga bulan yang lalu kembali muncul di benakku.

Waktu itu hal yang menyakitkan terjadi. Aku pulang dari rumah sakit dalam keadaan frustrasi. Kata dokter aku menderita penyakit leukemia. Keadaanku yang cukup parah membuatku putus asa. Aku bingung, resah, dan takut. Tak mampu mengontrol emosi hingga akhirnya aku kehilangan konsentrasi saat mengemudi.

Tanpa sengaja aku menabrak Nara dan ayahnya yang sedang menyeberang jalan. Mobil yang melaju kencang membuatku kesulitan untuk menghentikannya, hingga kecelakaan pun tak dapat dihindari.

Nara tergeletak di aspal jalanan dalam keadaan pingsan, sedangkan ayahnya terpental tak berdaya dengan banyak luka di tubuhnya. Merasa panik, aku bergegas membawa mereka pergi ke rumah sakit terdekat.

Beberapa hari kemudian Nara sudah diijinkan pulang, tapi tidak dengan ayahnya. Karena itulah Nara memutuskan untuk tidak pulang dan menemani sang ayah di sana.

Menyadari hal itu aku semakin tak berani untuk mengakui kesalahanku. Aku tetap ke rumah sakit setiap hari, melihat kondisi mereka dari kejauhan tanpa Nara sadari.“Bagaimana keadaannya, Yah?”

“Sudah mulai membaik,” jawab lelaki bermata sipit ayahku. “

Bersikaplah layaknya seorang lelaki, dan selesaikan masalah ini secepatnya.”

Akhirnya kalimat tersebut terlontar dari mulutnya. Membuatku sadar agar segera keluar dari persembunyianku selama ini. Meskipun aku tidak tahu bagaimana harus memulainya, tapi aku sudah berniat untuk berkata jujur pada Nara. Namun di luar dugaan, sebelum aku mengatakan apa pun, Nara telah lebih dulu membuatku terkejut.

“Kau tidak perlu berpura-pura lagi,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

“Apa maksudmu?”

“Aku tahu ayahmu bukanlah penyebab kecelakaan itu terjadi, bukan?” Aku terhenyak. “Jadi, hentikan semua ini.”

“Maafkan aku.”

Kami terdiam. Tenggelam dalam benak masing-masing dengan raut wajah menegang. Ketika aku baru saja ingin mengatakan sesuatu, gadis itu meraih tongkatnya. Perlahan berdiri, lalu mendekat ke arahku dan menyodorkan celana yang sudah dijahitnya tadi.

“Aku menghargai apa yang sudah kau lakukan untuk kami. Pelunasan biaya rumah sakit itu….” Ia menghela napas sejenak, “terima kasih.”

Aku bergeming. Menatap wajahnya lekat-lekat dengan rasa sesal di hati. Tanpa harus mendengar ucapannya lagi, aku sudah mengerti bahwa ia menginginkan agar aku segera pergi. Menjauhinya atau bahkan lebih dari itu.

“Kita masih bisa bertemu lagi, bukan?” ucapku cemas.

“Aku rasa kita tidak perlu melakukannya.”

“Kenapa? Bukankah…”

“Aku mohon jangan pemah menemuiku lagi.”

Ia membuka pintu dan berdiri tanpa sedikit pun menatapku. Tak lama kemudian, aku berjalan menghampirinya. Sekali lagi mengucapkan kata maaf padanya, sebelum berdiri di teras dengan perasaan tak karuan.

Pelan, aku membalikkan badan dan menatap pintu yang sudah tertutup rapat. Berharap ia kembali lalu mengijinkanku masuk lagi. Tapi tidak. Ia tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Sedikit pun.

Bagaimana aku bisa menjauhimu, jika namamu saja sudah bersemayam kuat di hatiku? Nara.

Sumber: titikdua.net 

3. Teks Cerpen Berjudul Antara Acep dan Arman


Antara Acep dan Arman

Karya: Martina Indah Purnamasari

Namaku Arman, aku tinggal di jakarta seorang diri. Ibu dan ayahku sudah lama meninggal. Aku tak mempunyai satu pun saudara di kota.

Siang ini hujan mengguyur Kota Jakarta. Aku berteduh di warung terdekat dan memesan segelas teh untuk menghangatkan tubuhku.

“Bu tehnya satu.” Pintaku kepada pemilik marung

Aku menatap hampa jalan seberang, kulihat anak sedang menawarkan payung.

“Payungnya pak, bu biar gak kehujanan.”Tawarnya

Bajunya sudah tak layak pakai lagi. Ia sungguh dekil. Tiba-tiba ibu pemilik warung itu datang membawakan teh pesananku. Membuat lamunanku buyar.

Segera kuseruput tehku dan kuambil gorengan yang berada di depanku, kemudian aku kembali mengamati anak itu. Sesekali anak itu balas menatapku. Anak itu terlihat sangat kelaparan. Kuseruput habis tehku lalu kubayar. Aku mencoba mendekati anak itu. Anak itu menawarkan hal yang sama padaku.

“Payungnya mas biar gak kehujanan.”Tawarnya kepadaku

Hujan semakin deras didampingi angin yang bertiup kencang. Kilat dan suara gemuruh guntur pun tak mau kalah. Kuajak anak itu berteduh di warung tadi. Anak itu mengiyakan ajakanku. Sesampainya di warung aku memesan teh dan nasi.Aku bertanya pada anak itu.

“Siapa namamu?”

‘Saya Acep, mas sendiri siapa?”Tanya balik anak itu

“Saya Arman.” Jawab

Ibu pemilik warung itu kembali datang membawa pesanan keduaku. Aku mempersilakan anak itu untuk makan.

Anak itu tidak memakannya. tetapi meminta pada Ibu penjual nasi itu untuk membungkusnya.“Bu, aku dirumah mempunyai ibu,” kata Acep menatapku sejenak, lalu melihat pada Si Penjual.

Si Penjual itu tersenyum dan melakukan apa yang dimaui Acep.

Aku tak sepenuhnya paham dengan apa yang dilakukan Acep. Aku menyelanya:“Kau bisa memakan itu dan membungkuskan lagi untuk ibumu. Aku akan membayarnya.”

Acep menatapku dengan sangat sopan. “Tapi saya sudah sangat berterima kasih dengan traktiran sebungkus saja. Saya tidak menggantungkan diri terlalu banyak dari belas kasihan orang.”

Aku terkejut dengan jawaban Acep. Kukontrol diriku sendiri untuk tak menunjukkan keterkejutan sepenuh keheranan tersebut. Akan tetapi mau tak mau aku tak bisa berhenti menatapnya begitu saja. Malahan kian aku menolak keinginan tersebut.

Kemudian aku ingin mengikuti keberadaannya. Tak lama kemudian kami bertatapan lagi sangat lekat, lalu Acep berpamit kepadaku dengan sangat sopan sembari mencium tanganku.

“Kenapa buru-buru?”Tanyaku.

“Duluan mas.” Jawab Acep tanpa mengatakan apa-apa lagi.

Kenapa dengannya? Apa aku membuatnya takut? Apa aku telah menyingung perasaannya? Kenapa dia langsung pulang?

Arlojiku menunjukkan jam 3 sore. Aku segera pulang ke rumah. Seperti biasa aku di rumah hanya seorang diri. Kuambil handuk dan segera mandi. Jam berlalu sangat cepat. Aku menuju kamar untuk tidur. Aku merebahkan tubuhku ke kasur dan terus memikirkan apa yang di maksud acep. Apa hari ini aku hanya bermimpi.

Hari demi hari telah kulewati. Kejadian itu telah aku lupakan. Aku melalui hariku seperti biasannya. Malam berganti pagi. Aku bangun untuk lari pagi. Kuambil handuk kecilku dan kukalungkan di leherku. Kubuka pintu rumahku.

Dari kejauhan, kulihat seorang ibu berbalutkan kain dengan baju atasan kumal sedang menuntun sepeda tua. Sepeda itu membawa dua bagor dan tumpukan kardus pada boncengannya. Sesosok anak remaja mengikuti di sebelahnya.

Ia mencoba turut membantu mendorong beban sepeda yang berat tersebut. Ibu dan anak itu tampaknya bahu membahu mencari barang rongsokan dan membawa ke pengepul atau membawa pulang. Entahlah, ke mana mereka membawanya.

Aku teringat pada sosok Acep yang kutemui pekan lalu. Ah, kukira Acep tidak cukup makan bergizi, tapi memiliki ibu. Mungkin juga sepasang ibu dan anak di kejauhan tersebut juga demikian; mereka tak memiliki rumah nyaman, makanan bergizi dan mampu membeli pakaian bagus.

Tapi kebersamaan itu? Hati yang dapat bicara satu sama lain; berbagi kepedulian, kesedihan dan kegembiraan kecil. Betapa indahnya saat saat kebersamaan dengan seseorang yang siap mendengar keluh kesah kita dan siap menyentuh bahu kita ketika kita ingin merasakan betapa dalam perhatian itu. Sekarang ini aku sangat ingin merasakannya. Kenapa aku memikirkannya begitu dalam?

Sebenarnya siapa yang harus mengasihani siapa? Aku kah yang harus mengasihani Acep karena tidak dapat hidup layak dengan memiliki rumah, makanan dan pakaian yang layak serta kesenangan lain seperti anak anak di usiaku dulu?

Aku memiliki banyak sekali mainan di rumah, bisa lihat TV dengan layar yang lebar, bepergian dengan mobil ke tempat tempat menyenangkan, membeli pakaian dan makanan yang bagus bagus dan enak-enak dengan harga yang mahal dan di tempat tempat yang bagus.

Tetapi pada akhirnya, ibuku meninggal karena tak tahan menahan malu, dan bapakku mengakhiri hidupnya sendiri di luar kewenangan Tuhan yang menghidupkannya karena sebuah kecurangan demi uang. Beberapa waktu kemudian aku merasa tak nyaman untuk bertemu orang lain.Aku perlu hampir setahun untuk dapat berdiri tegak kembali.

Bagaimana pun seorang temanku pernah menasihatkan :“Kau lelaki, dan kau harus tabah hidup sendiri. Kendati pun suatu ketika kau memiliki keluarga, lelaki harus tetap sendiri memikirkan pertahanan hidup.”

Temanku ada benarnya. Aku sudah melewati masa tersulit melepas kepergian kedua orang tua yang menghancurkan reputasi dinasti kakek nenek. Aku tidak bisa membaca pikiran mereka, tetapi sekurangnya aku bisa memperkirakan, betapa mereka menanggung malu atas ulah bapakku.

Aku mendongakkan wajah, berusaha meyakinkan diri bahwa hidup tak sepatutnya menyerah pada penderitaan. Hidup itu hadiah Tuhan. Si Kecil Acep begitu tabah menjalani hidupnya yang keras. Maka aku yang sedewasa ini, semestinya menjadikannya teladan.

Kuambil apel di dalam kulkas. Kubawa apel itu ke kamarku dan kubuka jendela kamarku. Semribit angin menerpa wajahku. Di kamarku yang biasanya kudinginkan dengan AC, aku melihat diriku sendiri dalam diri Acep.

Sumber: titikdua.net 

4. Teks Cerpen Berjudul Gathot dan Kaca


Gathot dan Kaca

Oleh: Faiszal Ibnu Idayat

Sekolah SMA dekat rumahku mengadakan perlombaan science. Di tempat tersebut terdapat banyak sekali penemuan yang sangat bagus. Aku hanya terdiam melihatnya. Aku melihat di dekat pohon tak jauh dari tempat perlombaan tersebut.

Dengan membawa penemuan yang aku buat, aku tak segan-segan melangkahkan kakiku di tempat tersebut. Aku mendekat ke panitia perlombaan yang berada tak jauh dari pohon tempatku melihat perlombaan science itu.

“Siapa namamu? Apakah kau ingin mendaftarkan hasil penemuan yang kamu buat?” panitia tersebut bertanya padaku

“Memang kenapa, Pak? Apakah aku salah?” aku menjawabnya dengan sangat penasaran.

“Kamu masih usia SD kan? Baru sekali ini anak SD ikut perlombaan science dari sekian kali perlombaan.”

Aku hanya mengangguk kepadanya.

“Ya. tapi baiklah… akan kutulis di kertas ini.”

“Namaku Gathot,” nada suaraku penuh percaya diri. Aku juga memompa semangat, pasti bisa mendapatkan sesuatu dari perlombaan science ini.

Saat aku merasa kehausan karena telah lama menunggu giliranku, aku meninggalkan penemuanku dekat panitia. Tak lama kemudian aku mengambil milikku tersebut dengan bangga, tetapi terkejut karena punyaku tersebut sedikit rusak.

“Siapa yang telah merusak penemuanku ini?” Aku bertanya kepada panitia, tetapi mereka juga tidak tahu siapa sebenarnya yang merusaknya. Aku merasa sangat marah dan kecewa.

“Gathot…!” panitia memangilku.

kebingungan.

“Ayolah Qil, kita ingin sekali mengumpulkan sahabat.” Rajuk Alifa. “Benar sekali, Lif!” Ucap Yasmine membenarkan Alifa.

“Baiklah, aku mau kok jadi sahabat kalian.” Kata Aqila bersedia.

“Beneran, nih, Qil?” Tanya Alifa tidak percaya. Aqila mengangguk. “Serius, kok!” Kata Aqila. Rindy, Alifa, dan Yasmine senang sekali. Kemudian memeluk Qila.

“Makasih banget, ya, Qil.” Ucap Rindy. Aqila mengangguk senang. Aqila pun menjadi sahabat Rindy, Alifa, dan Yasmine.

5. Teks Cerpen Terdampar

Terdampar Cerpen

Karangan: Nafidzah Salsabila Firdausi

Kupandangi lautan di depanku. Berkilauan di bawah sinar rembulan. Mengingat kembali kenangan yang telah lama tertanam di otakku. Berharap bisa kulupakan.

Beberapa tahun yang lalu...

“Icha! Icha! Icha!” Panggil seseorang. Gadis kecil berumur 6 tahunan keluar dari dalam rumah dengan seragam masih melekat di tubuhnya. “Eh, Nanda! Ayo masuk!” Ajaknya ceria. Gadis yang bernama Nanda itu masuk dengan riang. Dia duduk menunggu sahabatnya itu di ruang tamu. “Eh ada tamu, halo Nanda!” Sapa Mama Icha. “Halo Tante!” Sapa Nanda riang. “Mau kemana nih?” Tanya Mama Icha. “Main Tan!” Jawab Nanda. “Ayo Nan!” Ajak Icha yang ternyata sudah siap. Dia sudah berganti baju dengan setelan yang membuatnya tambah manis. Juga tas yang dia bawa. “Ayo! Kita pergi dulu ya Tan!” Ucap Nanda. “Hati-hati ya!” Teriak Mama Icha. Icha melambaikan tangan pada Mamanya. “Nah tinggal jemput Rehan, Angga, Putra sama Hanny!” Ucap Nanda. “Oke!” Sahut Icha riang.

“Ayo Putra! Cepetan!” Ucap Hanny tak sabar. “Tau nih Putra yang paling ribet!” Protes Angga. “Iya! Iya!” Putra buru-buru menenteng tasnya dan berlari menghampiri teman-temannya. “Let’s go!” Rehan mengangkat tangannya diikuti kelima sahabatnya.

Mereka akan pergi ke pulau yang ada di tengah-tengah pantai yang tak jauh dari rumah mereka. Menggunakan kapal sewaan. Walaupun mereka masih anak SD, mereka memiliki niat yang sangat berani. Mereka berjalan bersama dengan riang sambil sesekali bercanda.

Akhirnya mereka sampai di tempat sewaan perahu. Mereka menghampiri sang pemilik. “Kakak! Kami mau sewa perahu itu,” Ucap Putra mewakili sahabat-sahabatnya. “Tapi dek.. berbahaya kalau tidak ada pendampingnya,” Ucap Sang pemilik. “Yah gimana dong?” Tanya Icha kecewa. Padahal dia sudah membayangkan semuanya. “Ah begini saja, kakak suruh teman kakak mendampingi kalian,” Hibur Kakak itu. “asiiik!” Sorak Icha dan sahabat-sahabatnya. Sebelum berangkat, Rehan tak sengaja melihat Kakak pemilik perahu berbisik-bisik pada temannya. Sesekali temannya itu mengangguk-angguk. Lalu mereka pun berangkat setelah membayar.

Di tengah perjalanan hujan turun. Tak terlalu lebat, tapi cukup untuk membuat ombak. “Waa! Kakak aku takut!” Teriak Nanda. “Tenang saja dek,” Ucap Kak Nico santai. Kak Nico adalah teman Kak Willy, pemilik perahu. Kak Nico terus mendayung. Tanpa disangka-sangka saat ada ombak besar, Kak Nico dengan sengaja mendorong Enam sahabat itu. “Waaaaa!!” Teriak mereka bersamaan. Byuuur!, mereka jatuh ke dalam air. “Kak Nico! Tolong!” Teriak Angga. “Aaaa!” Hanny mulai menangis. Mereka berusaha agar tak tenggelam ke dalam dasar laut. Mereka berusaha melawan ombak. Kak Nico meninggalkan mereka dengan tawa menggelegar seperti petir.

“Huhuhu teman-teman aku sudah tak kuat,” Ucap Nanda yang mulai kelelahan. Mereka sesekali masuk ke dalam air karena ombak. “Huah! Bertahanlah Nanda!” Teriak Icha. Kerudung Icha hanyut terbawa ombak. Tak lama Angga tak terlihat. Karena langit gelap dan ombak semakin besar. Satu per satu dari mereka tenggelam. Icha tak memiliki tenaga untuk berenang lagi. Dia perlahan masuk ke dalam air. Tubuhnya kecil dia tak mungkin melawan ombak lagi dengan tenaga seperti itu.

Icha menahan nafasnya. Dia berdoa di dalam hatinya. Ya Allah, selamatkanlah kami. Lindungilah Icha dan teman-teman. Icha masih sayang Papa dan Mama..., Doa Icha dalam hati kecilnya. Putra, Angga, Rehan, Hanny, dan Nanda juga berdoa dalam hatinya. Icha membuka matanya. Dia melihat teman-temannya yang pingsan di dalam air. Tak lama pandangannya buram. Dia sudah tak bisa lagi menahan nafas. Dan akhirnya semuanya gelap.

“Icha! Putra! Hanny! Icha! Icha!” Samar-samar Icha mendengar suara orang memanggilnya. Dia memuka matanya. “Rehan?” Panggilnya lemah saat melihat anak laki-laki dengan rambut basah duduk di sampingnya. “Icha? Kamu sadar Cha?” Rehan membantunya duduk. Icha mengeluarkan air dari dalam mulutnya. “Uhuk! Uhuk!” Icha terbatuk-batuk. Rehan mengelus punggungnya halus. “Kita masih hidup? Kita masih hidup Han!” Ucap Icha girang. Icha memeluk Rehan dan Hanny yang menghampirinya. “Iya Cha, aku bersyukur banget,” Ucap Hanny. Dia juga baru siuman. “Teman-teman kita terdampar di pulau tujuan kita,” Ucap Nanda dengan suara bergetar. Semua melihat daratan yang berada jauh dari tempat mereka terdampar. “Benar... yang penting kita selamat! Dan masih bersama-sama” ucap Angga. Mereka semua berpelukan dan menangis haru.

Benar...

Itu sudah beberapa tahu yang lalu. Jadi di sinilah aku. Icha yang sudah berumur 14 tahun. Menjalani kehidupanku dengan kelima sahabatku. Aku mendongak menatap langit yang penuh bintang. Aku duduk di atas dahan pohon sendirian. “Hey! Sendirian aja nih? Nanti kesambet lho!” Seseorang menepuk pundakku. Aku menoleh, “Eh, Nanda,” Ucapku. Nanda duduk di sampingku. “Indah ya?” Komentarnya sambil menatap langit. Aku hanya mengangguk. “Oi! Jangan berduaan aja!” Seketika keempat sahabatku nongol dan duduk bersama aku dan Nanda. Kami sama-sama menatap langit. “Aku rindu Mama dan Papa,” ucap Hanny tiba-tiba. “Aku juga,” ucapku dan Putra kompak. “Apa mereka juga merindukan kita?” Tanya Rehan. “Tak apa-apa, yang penting kita masih bersama-sama. Di sini, di pulau tempat kita terdampar! Anggap saja kita sedang berpetualang!” Ucap Angga yang duduk di antara aku dan Putra. Lalu dia merangkul kami berdua. “Kamu benar,” Ucap Nanda setuju. Kami pun tertawa.

Benar sekali. Aku tak sendirian. Aku bersama kelima sahabatku. Yang menemaniku di sini. Yang mampu membuatku bertahan hidup. Ya disini. Di pulau kami terdampar.

Sumber referensi: bocahkampus.com

6. Teks Cerpen Berjudul Karena Kita Sahabat


Karena Kita Sahabat
Cerpen Karangan: Defisa S.

“Tya?” Aku menolehkan kepalaku ke arah orang yang memanggilku. Oh, itu Ibuku.

“Ada apa, Bu?” Aku menghampirinya, membantunya mencuci piring bekas makan siang kami.

“Besok Disa dan Werli kesini.”

Tanganku yang tadinya hendak mengambil piring seketika terhenti.

“Kesini?” Ibuku tertawa kecil.

“Bukan, maksud Ibu mereka sudah pulang dari Yogyakarta. Mereka kan liburan selama seminggu disana.”

“Oh.” Aku kembali sibuk membersihkan piring.

“Mau menemani Ibu ke rumah mereka? Katanya ada oleh-oleh untuk kamu.” Aku tersenyum kecil.

“Apa boleh kalau Tya tidak kesana?”

Ibu menatapku dengan tatapan kaget.

“Kenapa, kamu tidak merindukan mereka berdua? Waktu kecil, kalian sering bermain bersama kan?”

Semua piring telah bersih, aku mengangkat beberapa dan membawanya menuju rak di dapur.

“Sekarang Tya sudah besar, Bu.” Ibuku berdiri di sampingku, tangannya dengan lincah menaruh piring-piring itu ke dalam rak.

“Bukan cuma kamu, Disa sama Werli juga sudah besar.” Aku menatap Ibuku sendu.

“Tya tidak harus kesana kan?” Ibuku menghela nafas.

“Iya, iya. Tapi jangan keluyuran kemana-mana, jaga rumah.” Aku mengangguk senang.

“Memangnya kapan Ibu mau ke rumah mereka?”

“Malam ini.”

Kini tinggalah aku sendiri di rumah, Ayahku ikut pergi bersama Ibuku. Aku merebahkan diri di atas kasur. Menatap langit-langit sambil membayangkan bagaimana wajah Disa dan Werli saat ini. Apakah kulit Disa yang kecokelatan tiba-tiba menjadi putih, atau rambut pendek Werli kini sudah memanjang menyentuh pinggang? Aku sebenarnya ingin pergi menemui mereka. Menyapa mereka, melihat wajah mereka lagi. Walau hal itu dapat ku lakukan, selanjutnya apa? Aku tidak pernah menemui mereka lagi semenjak lulus dari sekolah dasar. Sekarang aku sudah kelas 11, itu artinya aku bukan lagi ‘teman dekat’ mereka. Atau aku berlagak kenal saja, menganggap kalau mereka masih mengingatku. Tapi, kalau mereka mengabaikanku bagaimana? Kalau mereka bukan Disa dan Werli yang dulu ku kenal, selanjutnya aku harus apa? Ikut bersikap seolah kami tidak pernah saling mengenal?

Aku memejamkan mataku, mencoba menghilangkan semua pikiran negatif yang terus berputar di otakku. Aku berharap pertemuanku dengan mereka nantinya tidak seburuk seperti yang kubayangkan.

Aku mengayuh sepedaku dengan perlahan, udara segar yang kuhirup membuatku tak merasa kelelahan. Setelah menghabiskan pagi Minggu dengan bersepeda bersama kedua temanku, Lulu dan Nina. Aku berencana akan pulang dan beristirahat. Kuparkirkan sepedaku di depan rumah, kemudian aku melangkah masuk ke dalam rumah. Tiba-tiba saja Ibu menghampiriku dengan wajah sumringah. “Tya, cepat ganti bajumu. Atau kalau perlu mandi dulu sana!” Serunya dengan senyum lebar. Aku yang baru saja memasuki rumah terheran-heran melihat gelagat ibuku yang kelihatan antusias sekali.

“Ada apa sebenarnya, Bu?” Tanyaku, ia mendorong bahuku untuk memasuki kamar. “Kamu sudah lama tidak ke pantai kan?” Mendengar kata ‘pantai’, aku langsung berbalik menatap wajahnya yang sama berseri-serinya denganku.

“Ibu ingin mengajakku ke pantai!? Bersama Ayah!?” Tanyaku tak sabaran, ia mengangguk.

“Segera persiapkan dirimu,” perintahnya.

“Tya akan mempersiapkan diri secepat-cepatnya,” jawabku dengan nada yang riang sekali.

Aku menggoresi tanah dengan kakiku seraya bergumam kecil. Sesekali aku memetik daun layu dari pohon pepaya yang berdiri di sampingku. Aku memandangi pintu dapur itu lagi, ada suara-suara gaduh khas seorang perempuan terdengar dari sana. Kemudian aku pandangi sekitar, keadaannya sunyi. Mungkin kebanyakan orang masih tertidur pulas meskipun waktu sudah menunjukkan pukul 07.30.

Seorang bapak-bapak keluar dari pintu belakang itu dengan membawa beberapa barang. Kemudian ia memasukkannya ke pick up yang terparkir tepat di samping jalan. Aku terus mengamatinya dalam diam. Lalu ada seorang anak gadis yang keluar. Itu Werli. Gadis yang sama yang pernah bermain bersamaku ketika SD, gadis yang pernah menjadi temanku kapanpun aku membutuhkannya, gadis yang pernah bercanda denganku. Tertawa, bahagia.

Tetapi aku berpaling dari mereka ketika aku menemukan teman baru yang lain. Aku menepis uluran tangan mereka ketika mereka hendak mengajakku kembali. Aku sama sekali tidak peduli. Aku bahkan tidak ingin melihat wajah mereka, bagaimana raut wajah mereka ketika itu.

Kecewa.

“Eh, Tya?” Panggilnya, aku tersenyum.

“Hai, sudah lama ya kita tidak bertemu? Makin cantik saja kamu.” Godaku, ia hanya tersenyum dan kemudian berlalu.

Aku memandangi punggungnya yang semakin menjauh, jadi begini ya rasanya diabaikan. Tidak enak, sama sekali.

“Loh Tya, kenapa bengong? Ayo cepat naik!” Seruan itu berasal dari seorang bapak-bapak yang tengah berdiri di belakang pick up sambil melambai-lambaikan tangannya. Aku berlari mendekat dengan senyum yang tak lepas dari wajahku. Aku menaiki pick up itu dengan hati-hati. Setelah mendapat tempat duduk yang menurutku nyaman, aku memandangi sekitar. Pick up ini diisi oleh berbagai macam benda, ada yang isinya makanan, minuman, dan lain-lain.

Selain itu ada Pak Pahrul, ayah dari Disa. Juga ada Werli, Disa dan adiknya Werli yang bernama Farzan. Melihat raut mereka yang berbinar-binar membuat senyumku semakin lebar. Ini pasti akan menjadi perjalanan yang menyenangkan.

Aku menopang dagung sambil menikmati angin yang menerpa wajahku dengan kencang. Kepalaku ikut bergetar mengikuti getaran pick-up yang sesekali menghantam tanjakan di jalan, yang membuat badanku terhuyung. Aku mencuri pandang ke arah Werli dan Disa yang tertawa ceria mendengar guyonan dari Pak Pahrul yang entah kenapa tak ku mengerti sama sekali. Aku merubah posisi dudukku untuk yang kesekian kalinya. Sesekali aku merapikan rambutku walau hal itu percuma saja. Aku bosan. Di anggap tidak ada, atau dianggap sama dengan benda-benda ini. Betapa menyedihkannya.

Kemudian aku memandangi wajah Werli baik-baik. Dia tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik, rambut panjangnya tergerai dengan indah. Tawanya lebar sekali, tak kalah lebar dengan tawa Disa. Walau kulit Disa masih kecokelatan, dia tetap cantik dengan senyuman manis, semanis cokelat. Mengapa aku pernah melunturkan senyum itu? Kenapa aku berani melakukannya? Tidakkah itu keterlaluan.

Aku kembali memandangi jalanan yang kini lenggang, kemudian senyum tipis tercipta di bibirku. Senyum samar yang membuat hatiku teriris-iris karena teringat akan apa yang telah aku lakukan kepada mereka dulu. Aku pernah menyakiti mereka dengan meninggalkan mereka begitu saja, tanpa berucap apa-apa. Tentu saja, ini jelas karma.

Tak kusadari kini pantai sudah ada di hadapanku, lautan lepas terbentang bebas di depan mata. Aku langsung turun dengan rasa antusias, walau perasaan sedih masih terselip di hatiku. Aku hendak membantu ketika Pak Pahrul dan yang lainnya menurunkan barang-barang yang mereka bawa. Sesaat aku tertegun ketika melihat Disa yang kesusahan membawa karpet yang akan menjadi alas duduk nanti. Aku pun menghampirinya.

“Biar kubantu,” ujarku. Tanganku sudah siap untuk memegang karpet itu, tetapi ia menyingkir lebih jauh sehingga hanya udara yang saat itu kusentuh. “Tidak perlu.” Disa berlalu begitu saja, dengan mata yang sama sekali tidak melihatku. Nada bicaranya yang dingin terus terngiang di telingaku. Begitu ya, dia membenciku.

Aku kemudian mencari-cari keberadaan Werli. Ternyata dia sudah bermain-main dengan air laut, ia tertawa seolah air laut itu tengah menggelitiki kakinya. “Tya, jangan cuma bengong. Ayo kesini.” Pak Pahrul menyuruhku untuk mengikutinya, membuatku mau tak mau menghampirinya.

Suasana disini ramai sekali, ada banyak anak-anak bahkan orang dewasa yang tengah menceburkan diri. Ada juga yang duduk sambil bercanda tawa ditemani beberapa makanan dan minuman, di bawah pohon cemara yang rindang, persis seperti kami.

Udara dari laut itu begitu menyegarkan, membuatku merasa nyaman. Tetapi perasaan itu tidak bertahan lama ketika sikap Disa kepadaku beberapa menit yang lalu terlintas di pikiranku. Ngomong-ngomong, dimana anak itu sekarang?

Ternyata mereka, Werli, Disa, dan Fauzan tengah bercebur. Pak Pahrul ada untuk mengawasi mereka. Kulihat mereka, juga semua orang tengah tertawa dan bercanda. Apa cuma aku disini yang merasakan kehampaan?

“Tya, ayo di makan. Jangan sungkan,” ujar istri Pak Pahrul dengan senyum ramahnya, aku membalasnya dengan senyum tipis.

“Tidak, terima kasih. Saya masih kenyang.” Ujarku, mencoba menolak kebaikan hatinya sehalus mungkin. Lagi-lagi ia tersenyum.

“Kalau kamu mulai merasa lapar, makan saja makanan ini sebanyak apapun yang kamu mau.” Aku mengangguk, kemudian ia kembali larut berbicara bersama keluarganya.

Aku tidaklah terlalu dekat dengan keluarga Pak Pahrul, aku hanya mengetahui bahwa mereka adalah kerabat ibuku. Kemudian aku berteman dengan Werli dan Disa. Mereka adalah orang pertama yang mengajariku cara berteman, yang memperlihatkanku betapa polos dan indahnya persahabatan itu. Tetapi kemudian aku meninggalkan mereka, meninggalkan bekas luka yang mungkin masih tertoreh di hati mereka. Menumbuhkan kebencian yang membuatku tak lagi menjadi orang yang mereka anggap ada. Aku hanyalah orang asing.

Aku berdiri dari dudukku tanpa alas kaki yang membuatku langsung merasakan tekstur pasir di pantai itu. Kemudian aku menyusuri bibir pantai, air laut mulai membelai-belai kakiku. Seharusnya aku tidak ikut pergi ke pantai kalau pada akhirnya aku hanya akan merasakan kesepian. Tapi jika aku tidak ikut, aku tidak akan tahu bagaimana perasaan Werli dan Disa terhadapku. Aku akan terus tertawa bahagia tanpa mengetahui luka yang telah kuberikan kepada mereka. Sudah sepantasnya aku diperlakukan seperti ini, atau mungkin seharusnya lebih daripada ini.

Aku mengamati laut lepas yang terbentang luas dihadapanku, angin kencang yang menimpa wajahku dapat kurasakan sepenuhnya. Begitu juga dengan rasa bersalah yang semakin menggerogoti hatiku. Aku menghela nafas dengan berat, kemudian aku mengamati pasir yang sesekali terkikis oleh air laut yang membuat kakiku agak terperosok, tetapi aku masih bisa berdiri tanpa harus merasakan sakitnya terjatuh. Kemudian sebuah pemikiran tiba-tiba terlintas di benakku. Aku akan meminta maaf. Walau nantinya mereka hanya akan menganggapku sebagai sebutir kerikil. Bisa diabaikan, bisa diteriakki, bisa diinjak kapanpun juga.

Aku tersenyum miris. Tak lama ada sebuah suara cipratan kecil yang berasal dari belakangku. Paling ada anak kecil yang tengah bermain air dengan temannya, pikirku. Aku menatap Disa yang pakaiannya sudah lain dari saat terakhir kali aku melihatnya. Mataku membesar untuk beberapa saat. “Hanya berjalan-jalan.” Jawabku seadanya. “Ayah menyuruhku untuk memanggilmu, katanya kau belum makan sama sekali.”

Aku mengangguk, lalu aku berjalan melewati bahunya. Ia ternyata tak beranjak dari tempatnya. Kemudian aku merasakan punggungku basah, aku melihat ke arahnya.

“Maaf, aku tidak sengaja,” ujarnya dengan wajah yang datar, aku kembali melanjutkan langkahku. Lagi-lagi aku merasakan air laut membasahi punggungku, aku memandanginya penuh tanya. “Sudah kubilang aku tidak sengaja.” Aku berbalik lagi dan lagi-lagi ia menyiramku.

“Yang itu juga tidak sengaja,” ujarnya dengan wajah tanpa dosa, karena kesal aku balik menyiramnya. Ia menutupi wajahnya dan membalasku dengan gaya membabi buta, aku kembali menyimburnya.

Lama-kelamaan kami mulai larut dalam tawa. Tubuh kami sudah basah kuyup, lalu sosok Werli tiba-tiba mendekat ke arah kami.

“Kenapa kalian tidak mengajakku bermain? Kalian curang!” Kesalnya dan ia pun ikut mencipratkan air ke wajah kami berdua. Kami bertigapun tertawa bersama-sama.

Tak terasa sudah waktunya untuk pulang. Aku sudah mengganti bajuku dengan pakaian yang tentunya kering. Begitu juga dengan Werli dan Disa. Entah kenapa aku agak kesusahan menaiki bagian belakang pick up ini. Lalu ada sebuah tangan terulur ke arahku, aku menggenggam tangan itu erat namun tidak sampai membuat pemiliknya meringis kesakitan. Disa tersenyum ke arahku, bukannya membalas aku malah tertunduk sedih.

“Ada ap..”

“Aku minta maaf,” potongku dengan nada penuh penyesalan.

“Kenapa harus minta maaf? Kau tidak salah, justru aku yang harus minta maaf karena telah berkata dingin padamu. Maaf juga karena sudah bersikap acuh padamu, aku dan Werli bingung untuk memulainya. Kami belum tahu seperti apa dirimu yang sekarang,” ujarnya. Aku tertegun, ternyata mereka juga berpikiran seperti itu.

“Tapi aku telah berbuat hal yang lebih buruk dari itu, aku...”

“Tya, entah bagaimana kau memandangnya, tetapi aku yakin kalau pandanganmu itu salah. Kau berpikir bahwa kau telah menghianati kami kan?” Aku sedikit terkejut, kaget mendengar Disa yang mengetahui hal itu. Kemudian aku mengangguk tanpa keraguan.

“Kau bukan menghianati, karena kami tidak pernah merasa dihianati olehmu. Awalnya kami memang merasa sedih karena kau sudah tidak pernah lagi menemui kami. Tapi kami tahu kalau kau sudah menemukan teman yang bisa memahamimu lebih baik dari kami, menyayangimu lebih dari rasa sayang kami kepadamu, yang bisa menemanimu kapanpun dan dimanapun kau berada.”

“Mengapa kami harus merasa sedih melihatmu bahagia. Kami pun juga ikut bahagia bisa melihatmu tersenyum dan tertawa. Bukan berarti setelah kau pergi, kami akan terpuruk. Kami justru mendapatkan teman baru, teman yang sama menyenangkannya sepertimu, teman yang benar-benar tulus dengan kami.”

“Saat itu kami sudah menyadarinya. Kau terlalu besar untuk jari kami yang kecil, sudah saatnya kau pergi mencari tempat yang lebih baik dan nyaman untukmu. Ketika sudut pandang kita, cara berpikir kita, dan entah apa lagi itu mulai berbeda. Itu pertanda bahwa kami sudah tidak bisa menggenggammu lagi, seberapa keraspun kami mencoba.”

Aku memeluknya untuk beberapa detik, kemudian aku memegang kedua bahunya dengan penuh penegasan.

“Kalian selalu bisa meraihku, apapun yang terjadi. Karena aku, kau dan Werli adalah sahabat.”

Ia tersenyum bahagia.

Ketika dengan tiba-tiba pick up itu melaju, aku dan Disa yang tengah berdiri terjatuh dengan tidak elitnya, pantat kami terhempas secara bersamaan. Untung kami hanya terjatuh di atas pick-up, kalau tidak entah apa yang akan terjadi. Werli mentertawai kami. Walau rasanya cukup sakit, tetapi aku dan Disa ikut tertawa juga.

Kita akan bersahabat, untuk selamanya.

Sumber referensi: bocahkampus.com

7. Teks Cerpen Berjudul Kisah Kehidupan Cece


Kisah Kehidupan Cece

Oleh: Sekar Rahayu Wulan Darry

Namanya cece dia adalah seorang wanita yang terlahir dari keluarga sederhana, usianya baru 14 tahun, cece mempunyai seorang sahabat yang bernama nita, nita adalah sahabat cece dari smp, mereka selalu bersama-sama, dimana ada cece disitu pun ada nita, hingga pada suatu hari cece diperkenalkan dengan seorang pria oleh nita, pria ini adalah teman nita, bukan sedekar teman biasa namun nita menyukainya, namanya anto, anto tak menyadari kalau nita suka dengannya dia teman lamanya nita, entah kenapa nita mengenalkan anto dengan cece, cece senang bisa mempunyai teman baru.

Waktu terus berlalu, tak terasa komunikasi serta pertemuan antara cece dan anto yang semakin hari semakin dekat, sejak itulah cece mempunyai rasa dengan anto, cece mencintai anto yang dari hari kehari perhatian anto pada cece bukan seperti teman biasa namun lebih dari seorang teman atau sahabat, cece bingung dengan semuanya apakah mungkin anto juga mencintai cece, entahlah cece tak mengetahui itu semua? Itulah yang ada dalam pikiran cece.

Hingga suatu hari pas di hari ultahnya cece anto datang menemui cece dan memberi ucapan selamat kepada cece, anto pun berkata “aku ingin membuatmu bahagia, ce aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu bahwa sebenarnya dari awal kita bertemu dari pertama aku mengenalmu aku sudah mulai suka denganmu aku mencintaimu apakah kamu mau menjadi pacarku?” cece terdiam mendengarkan kata-kata itu, cece senang bahwa anto juga mencintainya namun cece juga bingung harus menerimanya atau tidak karena cece tau bahwa sahabatnya juga menyukai anto, nita juga suka sama anto namun cece tak bisa membohongi perasaannya sendiri bahwa dia juga mencintai anto “iya aku juga mencintaimu aku juga ingin menjadi pacar kamu” itulah yang cece katakan kepada anto hingga keesokan harinya di sekolah cece bertemu dengan nita, cece bingung harus dari mana cece menceritakan semuanya antara dia dan anto, cece pun memberanikan diri untuk bicara dengan nita bahwa antara anto dan cece sudah ada hubungan dekat

“Nit aku ingin bicara sama kamu tapi kamu janji ya jangan marah sama aku ini tentang perasaanku, aku tak bisa membohongi perasaanku ini, aku harus jujur sama kamu” itulah cakap cece ke nita lalu nita menjawab “apa sih ce kenapa aku harus marah sama kamu, kamu kan gak ada buat salah sama aku lagian kita bersahabat kan udah lama selama ini gak ada yang ditutup-tutupin ngomonglah biar semuanya jelas” itulah kata nita “iya nit sebenarnya aku dan anto sekarang udah gak jadi teman lagi namun kita berdua sudah pacaran maafkan aku ya nit karena setauku kan kamu juga suka sama anto, sorry banget nit aku suka sama dia jujur aku gak bisa membohongi perasaanku ini” nita kaget dengan semua yang dikatakan oleh cece ke nita namun apa boleh buat nita tau kalau dia juga mencintai anto namun sayang anto tak mencintainya “biarlah kalian bahagia aku juga bahagia melihat sahabat dan orang yang aku cintai bahagia walaupun itu tak bersamaku” kata nita, ya memang dalam hatinya sih terdapat kesedihan juga tapi ya sudahlah ini mungkin takdirnya untuk tak mengharapkan anto lagi, cece lega mendengarkan semuanya, sekarang cece dan nita pun masih bersahabat tanpa ada yang ditutupi.

Sekarang nita dan cece telah menyelesaikan sekolahnya di smp disinilah kehidupan baru cece dimulai, dari orangtua sahabat dan pacar cece pergi meninggalkannya, orangtua cece berpisah, cece shock mendengar bencana itu, cece pun tak mengetahui apa sih permasalahannya sehingga orangtuanya harus berpisah, cece sedih dan marah, cece ikut bersama ibunya dan pindah ke tempat neneknya, disaat cece bahagia dia telah lulus dari sekolahnya namun masalah besar menghadangnya hingga sampai nita juga pergi pindah untuk ikut orangtuanya, entah dimana nita sekarang cece sudah tak tau dimana nita tinggal karena setelah nita dan cece lulus mereka jarang berkomunikasi, begitupun dengan anto yang juga hilang komunikasi dengan cece, semuanya hancur, canda tawa itu telah hilang yang ada sekarang hanya linangan air mata dari pipi cece namun tak tau kenapa anto tak berusaha untuk mencari cece, apakah mungkin anto sudah tak mencintai cece lagi, dan pada akhirnya cece harus melewati hari-harinya sendiri tanpa sosok seorang ayah sabar dan orang yang sangat berarti baginya yaitu anto, setelah kejadian itu cece pun masih berharap bahwa anto akan datang dan menghampirinya lagi, cece masih menunggu kedatangan sang pangerannya.

Sumber referensi: bocahkampus.com