Agama Katolik | Pada kesempatan kali ini admin akan membagikan materi tanggung jawab anak terhadap keluarga dalam mata pelajaran agama Kristen revisi terbaru kurikulum 2013. Semoga apa yang admin bagikan kali ini dapat membantu anak didik dalam mencari referensi tentang materi tanggung jawab anak terhadap keluarga dalam mata pelajaran agama Katolik.
A. Anak dan Keluarga

Tahukah kamu bahwa kehadiran kamu dalam keluarga adalah anugerah terindah dalam hidup orang tua kamu? Ya, kamu adalah berkat terindah dari Tuhan. Mungkin tidak kamu sadari bahwa dalam setiap doa orang tua, nama kamu selalu disebut. Apakah dalam doa kamu terselip nama ayah dan ibu kamu?
Anak menjadi sosok penting yang didambakan orang tua dalam trinitas segitiga cinta yang ada dalam keluarga. Orang tua kamu melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai ayah dan ibu sejak dalam kandungan sampai kamu menikah. Hal ini tidak gampang, membutuhkan kesabaran, kerja keras dan rasa tanggung jawab yang besar, karena kompleksitas kebutuhan kamu yang harus dipenuhi. Sampai kapanpun budi baik mereka tidak pernah terbalaskan oleh kamu.
Meskipun demikian, jangan menganggap suami-istri Kristen yang tidak memiliki anak adalah orang yang berdosa dan tidak diberkati. Ingatlah, Tuhan Yesus dan rasul Paulus juga tidak menikah atau berkeluarga. Tetapi hidup mereka justru diberikan untuk kemuliaan Tuhan dan melayani sesama. Hidup tanpa pasangan dan tidak mempunyai anak secara kristiani bisa menjadi hidup yang indah, keberkatan, dan berguna bagi sesama. Bagaimana pandangan kamu terhadap orang yang tidak menikah?
B. Tanggung Jawab Anak
Bacalah artikel di bawah ini!
Suatu sore saat langit cerah namun teduh, dengan angin bertiup semilir, di halaman sebuah rumah berpagar tinggi, seorang ayah yang telah lanjut usia dan anak lelakinya yang masih muda tampak sedang duduk dibangku taman. Bersantai sambil menikmati suasana sore hari yang nyaman.
Sang anak asyik membaca koran, sedang sang ayah tampak hanya diam terpekur memandangi tanaman. Ketika tiba-tiba seekor burung pipit hinggap di dedaunan tanaman yang berada didekat sang ayah, ia bertanya kepada anaknya,
“Nak, Apakah itu?”.
Setelah melihat sejenak kearah tanaman sang anak menjawab ringan,
“Itu burung pipit yah”, kemudian ia melanjutkan membaca koran.
Sang ayah memandang kearah burung itu lagi, kemudian bertanya kembali,
“Apakah itu?”
“Sudah aku katakan burung pipit yah”, jawab si anak dengan nada sedikit kesal.
Sang ayah masih memandangi burung pipit tersebut, yang tak lama kemudian terbang dan hinggap kembali di tanah disisi lain dari halaman tersebut.
Dengan pandangan yang masih lekat pada burung itu kembali sang ayah bertanya,
“Apakah itu?”.
“Burung pipit ayah . . burung pipit . .” jawab sang anak yang kesal.
“P … I … P … I … T … !” lanjut sang anak sambil mengeja dengan marah.
Sang ayah yang masih ragu dengan penglihatannya yang mulai kurang baik, bertanya kembali,
“Apakah itu?”
Kali ini sang anak benar-benar marah dengan nada keras ia menjawab,
“Mengapa ayah menanyakan ini terus-menerus?! Bukankah sudah berulang kali kukatakan bahwa itu burung pipit! Tidak bisakah engkau mengerti!!”
Mendengar hardikan anaknya, sang ayah yang merasa sakit hati kemudian bangkit dari duduknya untuk masuk ke dalam rumah.
“Mau kemana?!” tanya sang anak.
Sang ayah tidak menjawab hanya memberikan isyarat tangan yang berarti “sudahlah” dan melanjutkan langkahnya ke dalam rumah dengan langkah gontai dan hati yang sedih.
Sang anak meskipun kesal menyadari bahwa ia tidak sepantasnya membentak ayahnya yang telah lanjut usia. Tapi peristiwa tadi memang sungguh membuatnya kesal dan menghilangkan selera untuk meneruskan membaca koran.
Saat sang anak masih termanggu, sang ayah kembali sambil membawa sebuah buku yang ternyata adalah buku hariannya. Sang ayah duduk kembali disebelah anaknya, sambil membolak-balik halaman buku seperti mencari sesuatu. Setelah ketemu halaman yang dicarinya ia sodorkan buku harian tersebut ke tangan anaknya, sambil menunjuk bagian yang ia ingin agar anaknya membacanya.
Sang anak menerima buku harian tersebut dan melihat bagian yang ditunjukkan oleh ayahnya. Sebelum ia mulai membaca ayahnya berkata,
“Yang keras ya…” Ia ingin agar anaknya membaca buku hariannya dengan suara yang dapat terdengar jelas.
“Hari ini putraku yang paling bungsu, yang beberapa hari yang lalu genap berusia 3 tahun,” Sang anak mulai membaca,
“Sedang duduk bersamaku di bangku sebuah taman, ketika tak lama kemudian ada seekor burung pipit yang hinggap dihadapan kami. Putraku bertanya hingga 21 kali padaku. ‘Apakah itu?’ Aku jawab sebanyak 21 kali sebanyak ia bertanya, bahwa itu adalah burung pipit. Aku selalu memeluknya dengan bahagia setiap kali ia bertanya dan mengulangi pertanyaannya. Sekali lagi dan lagi. Tanpa sedikitpun aku merasa kesal, karena ia adalah putra kecilku dengan wajah tanpa dosa dan dengan rasa ingin tahunya yang besar, aku malah merasa bahagia dan senang.”
Sampai disitu sang anak berhenti membaca, apa yang barusan dibacanya bukan hanya membuatnya menyadari kesalahannya, tapi membuatnya sungguh menyesal telah memperlakukan ayahnya seperti tadi. Sang anak terdiam, memandang ayahnya sejenak, dengan mata berkaca-kaca menahan tangis ia memeluk dan mencium kening ayahnya.
Meskipun tidak ada kata-kata apapun yang terlontar dari mulut anaknya, sang ayah tahu bahwa putra kesayangannya telah menyadari kesalahannya, ciuman dan pelukan eratnya adalah tanda permintaan maaf darinya. Sang ayahpun tersenyum bahagia. Suasana sore yang indah menjadi terasa semakin indah.
Sikap hormat kepada orang tua merupakan salah satu tugas moral yang harus dilakukan oleh anak sepanjang hidupnya. Sejak masa Perjanjian Lama sampai Perjanjian Baru, sikap ini ditekankan dalam Alkitab sebagai perintah yang harus dilakukan. Hubungan orang tua dan anak yang paling ideal dapat kita lihat pelajari dari kehidupan keluarga Tuhan Yesus (Lukas 2:41-52).
Yang terjadi dalam kehidupan sekarang adalah banyak anak yang membangkang kepada orang tua, karena anak menganggap sikap orang tua yang ketinggalan zaman, tidak banyak tahu apa-apa. Benarkah demikian? Biasanya orang tua melarang, menyuruh, menasihati sehingga banyak anak yang cenderung menjauhkan diri, seolah-oleh membuat tembok pemisah antara mereka. Anak merasa ingin bebas, ingin mempunyai pandangan sendiri, sehingga kurang senang pada otoritas atau kekuasaan orang tua yang mengatur.
Keinginan untuk bebas ini dapat menimbulkan kejengkelan dan salah paham apabila antara orang tua dan anak tidak oku memahami jalan pikiran masing-masing. Memang masa yang paling sulit seringkali adalah masa remaja. Di satu sisi, remaja mengalami perkembangan yang seringkali tidak bersesuaian dengan pendapat dan harapan orang tua dan lingkungan. Oleh karena itu, rupanya kamu perlu memahami perkembangan masa remaja sehingga kamu bisa menghindari konflik-konflik yang seharusnya tidak terjadi. Minimal ada empat aspek yang perlu kamu pahami, yaitu: perkembangan kognitif, moral-etika, ego, iman.
- Perkembangan kognitif Pada usia ini kamu memasuki tahapan kematangan intelek. Kamu mampu berpikir jauh melebihi dunia nyata dan keyakinan sendiri, yaitu memasuki dunia ide-ide. Kamu bisa memecahkan masalah secara sistematis, tidak hanya meniru orang lain. Kamu bisa berpikir reflektif, mengevaluasi pemikiran, melakukan imajinasi ideal, dan berpikir abstrak.
- Perkembangan moral-etika Pada usia ini, penekanannya adalah siapa yang memegang kekuasaan, mereka perlu dihormati. Kamu mulai senang menegakkan hukum dan disiplin, gemar memperhatikan kewajiban yang harus dilakukan dan memperhatikan tata kehidupan sosial serta kepentingan keamanan diri. Kamu menghormati orang yang memelihara aturan masyarakat.
- Perkembangan ego Kamu berada dalam situasi di satu sisi ingin memiliki identitas pribadi, namun di sisi lain ingin menyisikan rasa kekaburan identitas. Kamu mulai belajar memberikan loyalitas terhadap suatu kelompok yang menjadi bagian identitas (kelompok teman, ideologi, kekristenan yang kamu anut). Adakalanya kamu juga mengevaluasi identitas yang dianggap kuno untuk dipikir ulang. Identitas meliputi tiga konsep diri yaitu seksual, pekerjaan/panggilan dan sosial. Kamu ingin tahu siapa diri kamu dan ke mana hidup diarahkan, menyenangi identitas diri yang unik. Kamu sering mengalami konflik identitas karena ada jarak antara siapa diri yang sebenarnya dan keinginan menjadi pribadi ideal.
- Perkembangan iman Pada usia ini, kamu membentuk sikap terhadap hidup melalui apa yang dipercayai oleh keluarga sendiri menuju pandangan di luar diri dan keluarga. Seringkali bagi remaja, Allah adalah pribadi yang paling berperan dalam hidupnya. Allah menjadi sahabat yang paling karib dan memahami kehidupan remaja. Kamu mempunyai komitmen dan loyalitas yang sangat dalam terhadap Allah sebagai tempat menimba seluruh kepercayaan. Seringkali Allah juga dipandang sebagai ‘Allah kelompok’ atau ‘Allah kolektif ’.
Dengan pemahaman ini, orang tua memahami bahwa keinginan untuk bebas dan berdiri sendiri merupakan bagian dari pertumbuhan remaja. Seorang anak tidak akan bertumbuh menjadi dewasa selama ia masih bergantung pada pikiran orang tuanya. Tetapi di pihak lain, anak juga harus memaklumi bahwa pikirannya keluar dari kepala yang belum banyak pengalaman. Memang seorang remaja sudah oku menganalisa suatu masalah secara logis, tetapi dengan tingkat kognitif yang belum matang, seorang anak belum oku memperhitungkan dampak dan konsekuensinya.
Oleh karenanya, pikiran seorang remaja perlu diimbangi dengan pikiran orang tua, karena orang tua sudah banyak mengecap ‘asam-manis’ kehidupan. Ketegangan antara remaja dengan orang tua juga dapat dihindari kalau hubungan antara keduanya bersifat terbuka. Orang tua sebetulnya ingin mengobrol dengan anak mereka yang remaja secara intim.
Salah satu dari Sepuluh Hukum Tuhan dalam kitab Keluaran 20:1-17 adalah “Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu, kepadamu” (Keluaran 20:12). Yang dimaksud dengan “hormat” adalah
- Hormat berarti bersikap santun dan patuh terhadap orang tua. Di dalam 46 okum Taurat tertera perintah yang mengharuskan orang Israel untuk menjatuhkan sanksi berat, yaitu kematian kepada anak yang mengutuki orangtuanya, “Apabila ada seseorang yang mengutuki ayahnya atau ibunya, pastilah ia dihukum mati; ia telah mengutuki ayahnya atau ibunya, maka darahnya tertimpa kepadanya sendiri” (Imamat 20:9).
- Hormat berarti bertanggung jawab memelihara kelangsungan hidup orang tua. Tuhan Yesus menegur orang Yahudi yang menyelewengkan perintah Tuhan akan persembahan atas dasar ketidakrelaan memenuhi kebutuhan orangtua (Matius 15:3-6). Juga, sebelum Tuhan Yesus mati di kayu salib, Ia meminta Yohanes untuk memelihara Maria, ibu-Nya (Yohanes 19:26-27). Semua ini memperlihatkan bahwa Tuhan menginginkan anak untuk bertanggung jawab memelihara kelangsungan hidup orang tua masing-masing.
- Hormat berarti menghargai dan mengahui kewibawaan orang tua, yaitu dengan mengakui bahwa orang tua ditugaskan oleh Tuhan untuk menjadi pendidik anak. Memahami aspirasi orang tua, melihat motivasi positif di belakang nasihat dan larangan mereka, memaklumi kelemahan mereka, mengakui keunggulan mereka. Singkatnya, menghargai usaha orang tua untuk menghantar anak ke gerbang kedewasaan, sampai orang tua melepas anaknya untuk berjalan sendiri seutuhnya.
Sikap hormat dan pengertian kepada orang tua dengan landasan cinta kasih dari Kristus, akan membangun sebuah keluarga yang harmonis dan bahagia. Bukan hanya sikap anak kepada orang tua, namun juga sikap anak terhadap saudaranya satu dengan yang lain.