Kumpulan 3+ Unsur Kebahasaan Teks Cerita Pendek Dilengkapi Penjelasan

Teks Cerpen | Pada kesempatan kali ini admin akan membagikan materi seputar menganalisis unsur kebahasaan teks cerita pendek dalam mata pelajaran bahasa Indonesia kelas sembilan revisi. Semopga apa yang admin bagikan kali ini dapat membantu anak didik dalam mencari referensi tentang unsur kebahasaan teks cerita pendek dalam mata pelajaran bahasa Indonesia kelas sembilan.

Kumpulan 3+ Unsur Kebahasaan Teks Cerita Pendek Dilengkapi Penjelasan

Gambar: freepik.com

Sebagai cerita fiksi atau rekaan. cerpen memiliki kekhasan penggunaan bahasa seperti cerita fiksi lainnya. Bagi pengarang cerpen, bahasa adalah sarana untuk mengomunikasikan dan mewakili hal yang ada di benaknya. Untuk itu pengarang akan menggunakan bahasa sedemikian rupa agar pembaca dapat menangkap hal yang diekspresikan.

Unsur Kebahasaan Teks Cerita Pendek

Ada beberapa unsur kebahasaan yang sering digunakan pengarang cerpen dalam proses kreatif, di antaranya sebagai berikut.

1.  Menggunakan Kalimat Deskriptif

Kalimat deskriptif merupakan kalimat yang menggambarkan suatu objek, hal, orang, atau peristiwa sehingga pembaca sepertiapa yang digambarkan. Kalimat deskriptif biasanya digunakan untuk menggambarkan latar dan tokoh dalam cerpen.

a. Penggambaran latar

Latar adalah keterangan mengenai ruang, waktu serta suasana terjadinya peristiwa-peristiwa didalam suatu karya sastra. Atau definisi latar yang lainnya adalah unsur intrinsik pada karya sastra yang meliputi ruang, waktu serta suasana yang terjadi pada suatu peristiwa didalam karya sastra. Atau bisa juga latar yaitu semua keterangan, petunjuk pengaluran yang berhubungan dengan ruang, waktu dan juga suasana. Latar diantaranya meliputi penggambaran mengenai letak geografis, kesibukan si pelaku/tokoh, waktu berlakunya peristiwa, lingkungan agama, musim, moral, intelektual sosial, serta, emosional si pelaku/tokoh.

Berikut ini terdapat beberapa jenis-jenis latar, terdiri atas:

  1. Latar waktu adalah saat dimana tokoh ataupun si pelaku melakukan sesuatu pada saat kejadian peristiwa dalam cerita yang sedang telah terjadi. Seperti misalnya: pagi hari, siang hari, sore hari, malam hari, dizaman dulu, dimasa depan dan lain sebagainya.
  2. Latar tempat adalah dimana tempat tokoh atau si pelaku mengalami kejadian atau peristiwa didalam cerita. Seperti misalnya: didalam bangunan tua, di sebuah gedung, dilautan, didalam hutan, di sekolah, di sebuah pesawat, di ruang angkasa, dan lain sebagainya.
  3. Latar suasana adalah situasi apa saja yang terjadi ketika saat si tokoh atau si pelaku melakukan sesuatu. Seperti misalnya: saat galau, gembira, lelah dan lain sebagainya.

Latar alat adalah peralatan apa saja yang diperlukan atau dipakai si pelaku dalam suatu cerita. Seperti misalnya: Tombak, pistol, pedang, buku, pulpen dan lain sebagainya.

Fungsi dari latar sendiri yaitu untuk memberikan suatu gambaran yang jelas supaya peristiwa-peristiwa yang terjadi pada suatu karya sastra benar-benar terjadi atau memberikan informasi yang jelas mengenai situasi didalam sebuah cerita.

Contoh pengambaran latar

Listrik sudah empat tahun masuk ke kampungku dan sudah banyak yang dilakukannya. Kampung seperti mendapat injeksi tenaga baru yang membuatnya menggeliat penuh gairah. Listrik memberi kampungku cahaya, musik, es, sampai api, dan angin. Di kampungku, listrik juga membunuh bulan di langit. Bulan tidak lagi menarik hati anak-anak. Bulan tidak lagi mampu membuat bayang-bayang pepohonan. Tapi kampung tidak merasa kehilangan bulan. Juga tidak merasa kehilangan tiga laki-laki yang tersengat listrik hingga mati.

b. Penggambaran tokoh

Seringkali tokoh disamakan dengan istilah karakter ataupun watak, sejatinya hal itu adalah berlainan arti. Menurut Wiyatmi (2006: 30), tokoh adalah para pelaku yang terdapat dalam sebuah fiksi, sedangkan karakter yang dalam bahasa induknya (Inggris) character merujuk pada istilah watak dalam bahasa Indonesia yang berarti kondisi jiwa ataupun sifat dari tokoh tersebut (Minderop, 2005: 2). Dapat disimpulkan, bahwa tokoh adalah pelaku yang berada dalam karya fiksi sedangkan karakter atau watak adalah perilaku yang mengisi diri tokoh tersebut.

Ada beberapa pendapat tentang pengertian lain mengenai tokoh. Sudjiman (1984: 16) menyatakan bahwa tokoh adalah individu rekaan yang mengalami 21 berbagai peristiwa cerita dan berfungsi sebagai penggerak cerita. Senada dengan itu, Sumardjo dan Saini (2001: 144) menjelaskan tokoh adalah orang yang mengambil bagian dan mengalami peristiwa, sebagaimana peristiwa yang digambarkan dalam sebuah alur. Dari pengertian tersebut, peranan tokoh sangat berpengaruh dalam perjalanan peristiwa dalam sebuah karya fiksi. Peristiwa dalam kehidupan sehari-hari selalu diemban oleh tokoh-tokoh tertentu, pelaku mengamban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita melalui tokoh-tokohnya.

Tokoh dapat dibedakan menjadi beberapa jenis. Dikaji dari keterlibatannya dalam keseluruhan cerita, tokoh fiksi menurut Sayuti (2000: 74) dibedakan menjadi dua, yaitu tokoh sentral (utama) dan tokoh tambahan (bawahan peripheral). Tokoh utama atau tokoh sentral adalah tokoh yang mengambil bagian terbesar dalam peristiwa cerita, dengan kata lain tokoh utama merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan. Volume kemunculan tokoh utama lebih banyak dibanding tokoh lain, sehingga tokoh utama biasanya, memegang peranan penting dalam setiap peristiwa yang diceritakan. Kemudian tokoh tambahan atau tokoh bawahan adalah tokoh yang dimunculkan sekali atau beberapa kali (peripheral character), tokoh-tokoh yang mendukung atau membantu tokoh sentral.

Berdasarkan watak tokoh dibedakan menjadi dua bagian, yaitu tokoh statis atau tokoh datar (flat characterization) dan tokoh dinamis, tokoh berkembang atau tokoh bulat (rounded characterization) (Wellek dan Warren, 1989: 288). Sayuti (2000: 76) menjabarkan, berdasarkan watak tokoh dapat dibedakan 22 menjadi dua, yaitu tokoh sederhana dan tokoh kompleks. Tokoh sederhana yaitu tokoh yang diungkapkan atau disoroti dari satu segi watak saja. Tokoh ini bersifat statis, wataknya sedikit sekali berubah, atau bahkan tidak berubah sama sekali (misalnya tokoh kartun, kancil, film animasi), sedangkan tokoh kompleks yaitu tokoh yang seluruh segi wataknya diungkapkan. Tokoh ini sangat dinamis, banyak mengalami perubahan watak.

Tokoh-tokoh yang ada dalam karya sastra kebanyakan berupa manusia, atau makhluk lain yang mempunyai sifat seperti manusia. Artinya, tokoh cerita itu haruslah hidup secara wajar mempunyai unsur pikiran atau perasaan yang dapat membentuk tokoh-tokoh fiktif secara meyakinkan sehingga pembaca merasa seolah-olah berhadapan dengan manusia sebenarnya. Pernyataan itu diperkuat oleh Sayuti (2000: 68) yang mengatakan bahwa tokoh merupakan pelaku rekaan dalam sebuah cerita fiktif yang memiliki sifat manusia alamiah, dalam arti bahwa tokoh-tokoh itu memiliki “kehidupan” atau berciri “hidup” tokoh memiliki derajat lifelikeness “kesepertihidupan”. Karena karya fiksi merupakan hasil karya imajinatif atau rekaan, maka penggambaran watak tokoh cerita pun merupakan sesuatu yang artifisial, yakni merupakan hasil rekaan dari pengarangnya yang dihidupkan dan dikendalikan sendiri oleh pengarangnya. Pengarang tidak serta merta menciptakan dunia di luar logika para pembaca. Artinya pengarang memakai nama latar, peristiwa dan tokoh seperti keberadaannya di dunia nyata. Penciptaan tokoh oleh pengarang haruslah yang benar-benar seperti manusia.

Contoh penggambaran tokoh

Wajahnya kasar-kasar seperti tengkorak, kulitnya liat seperti belulang, pipinya selalu menonjol oleh susur tembakau yang ada dalam mulutnya, jalannya tegak seperti seorang maharani yang angkuh. Dirembang sekitar tahun tiga puluhan, ia lebih terkenal daripada pendeta Osborn pada pertengahan tahun 1954di Jakarta karena prestasinya menyembuhkan orang-orang sakit secara gaib. Ditinjau dari sudut tertentu, cara pengobatan Mbah Danu adalah rasional. Titik pangkalnyaadalah suatu anggapan yang logis Mbah Danu menegaskan bahwa orang sakit itu "didiami" oleh roh-roh jahat. Oleh karena itu, cara satu-satunya untuk menyembuhkan adalah dengan menghalaukan makhluk yang merugikan kesehatan itu.

2. Menggunakan Kata/Kalimat Ekspresif

Kata atau kalimat ekspresif yang dimaksud di sini adalah penggunaan kata atau kalimat yang mampu mengekspresikan perasaan pengarang melalui tuturan tokoh. Biasanya, pengarang akan menggunakan kata seru (interjeksi), kata serapan, atau penggunaan simbol tertentu. 

Contoh kata/kalimat ekspresif

"Ngeoooong!" keluar dari mulut Nah mendirikan bulu-bulu di kulit penonton.

"Rasakan!" seru Mbah Danu bengis dan sapu lidi terus-menerus menghantam Nah dengan irama rhumba. Nah tidak mengeong lagi sekarang, melainkan mengaum seperti singa sirkus yang marah. Sebagian hadirin mau lari.

"Minggat! Ayo minggat!" teriak Mbah Danu dengan amat murka dan dengan tendangan jitu. Nah ditengkurapkannya. Nah kini sadar bahwa ia manusia. Nah bukan kucing, kuda, atau singa. 

"Aduh biyuuuuuung! Aduh biyuuuuuung !!" tangisnya menggaung.

3. Menggunakan Majas

Majas adalah gaya bahasa yang digunakan penulis untuk menyampaikan sebuah pesan secara imajinatif dan kias. Hal ini bertujuan membuat pembaca mendapat efek tertentu dari gaya bahasa tersebut yang cenderung ke arah emosional. Biasanya, majas bersifat tidak sebenarnya alias kias ataupun konotasi. Mengenai macam-macamnya, majas dapat dibagi menjadi empat kelompok besar, yaitu majas perbandingan, pertentangan, sindiran, dan penegasan. Berikut ini ulasannya.

a. Majas Perbandingan

Jenis majas ini merupakan gaya bahasa yang digunakan untuk menyandingkan atau membandingkan suatu objek dengan objek lain melalui proses penyamaan, pelebihan, ataupun penggantian. Dalam majas perbandingan, teman-teman akan menjumpai beberapa subjenisnya.

1. Personifikasi

Gaya bahasa ini seakan menggantikan fungsi benda mati yang dapat bersikap layaknya manusia.

Contoh:

Daun kelapa tersebut seakan melambai kepadaku dan mengajakku untuk segera bermain di pantai.

2. Metafora

Gaya bahasa ini meletakkan sebuah objek yang bersifat sama dengan pesan yang ingin disampaikan dalam bentuk ungkapan.

Contoh:

Pegawai tersebut merupakan tangan kanan dari komisaris perusahaan tersebut. Tangan kanan merupakan ungkapan bagi orang yang setia dan dipercaya.

3. Asosiasi

Gaya bahasa ini membandingkan dua objek yang berbeda, namun dianggap sama dengan pemberian kata sambung bagaikan, bak, ataupun seperti.

Contoh:

Kakak beradik itu bagaikan pinang dibelah dua. Artinya, keduanya memiliki wajah yang sangat mirip.

4. Hiperbola

Gaya bahasa ini mengungkapkan sesuatu dengan kesan berlebihan, bahkan hampir tidak masuk akal.

Contoh:

Orang tuanya memeras keringat agar anak tersebut dapat terus bersekolah. Memeras keringat artinya bekerja dengan keras.

5. Eufemisme

Gaya bahasa yang mengganti kata-kata yang dianggap kurang baik dengan padanan yang lebih halus.

Contoh:

Tiap universitas dan perusahaan sekarang diwajibkan menerima difabel. Difabel menggantikan frasa “orang cacat”.

6. Metonimia

Gaya bahasa ini menyandingkan merek atau istilah sesuatu untuk merujuk pada pada benda umum.

Contoh:

Supaya haus cepat hilang, lebih baik minum Aqua. Aqua di sini merujuk pada air mineral.

7. Simile

Hampir sama dengan asosiasi yang menggunakan kata hubungan bak, bagaikan, ataupun seperti; hanya saja simile bukan membandingkan dua objek yang berbeda, melainkan menyandingkan sebuah kegiatan dengan ungkapan.

Contoh:

Kelakuannya bagaikan anak ayam kehilangan induknya.

8. Alegori

Gaya bahasa ini menyandingkan suatu objek dengan kata-kata kiasan.

Contoh:

Suami adalah nakhoda dalam mengarungi kehidupan berumah tangga. Nakhoda yang dimaksud berarti pemimpin keluarga. 

9. Sinekdok

Gaya bahasa terbagi menjadi dua bagian, yaitu sinekdok pars pro toto dan sinekdok totem pro parte. Sinekdok pars pro toto merupakan gaya bahasa yang menyebutkan sebagian unsur untuk menampilkan keseluruhan sebuah benda. Sementara itu, sinekdok totem pro parte adalah kebalikannya, yakni gaya bahasa yang menampilkan keseluruhan untuk merujuk pada sebagian benda atau situasi.

Contoh:

Pars pro Toto: Hingga bel berbunyi, batang hidung Reni belum juga kelihatan.

Totem pro Parte: Indonesia berhasil menjuarai All England hingga delapan kali berturut-turut.

10. Simbolik

Gaya bahasa yang membandingkan manusia dengan sikap makhluk hidup lainnya dalam ungkapan.

Contoh:

Perempuan itu memang jinak-jinak merpati.

b. Majas Pertentangan

Majas pertentangan merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata-kata kias yang bertentangan dengan maksud asli yang penulis curahkan dalam kalimat tersebut. Jenis ini dapat dibagi menjadi beberapa subjenis, yakni sebagai berikut.

1. Litotes

Gaya bahasa ini berkebalikan dengan hiperbola yang lebih ke arah perbandingan, litotes merupakan ungkapan untuk merendahkan diri, meskipun kenyataan yang sebenarnya adalah yang sebaliknya.

Contoh:

Selamat datang ke gubuk kami ini. Gubuk memiliki artian sebagai rumah.

2. Paradoks

Gaya bahasa ini membandingkan situasi asli atau fakta dengan situasi yang berkebalikannya.

Contoh:

Di tengah ramainya pesta tahun baru, aku merasa kesepian.

3. Antitesis

Gaya bahasa ini memadukan pasangan kata yang artinya bertentangan.

Contoh:

Film tersebut disukai oleh tua-muda.

4. Kontradiksi Interminis

Gaya bahasa yang menyangkal ujaran yang telah dipaparkan sebelumnya. Biasanya diikuti dengan konjungsi, seperti kecuali atau hanya saja.

Contoh:

Semua masyarakat semakin sejahtera, kecuali mereka yang berada di perbatasan.

c. Majas Sindiran

Majas sindiran merupakan kata-kata kias yang memang tujuannya untuk menyindir seseorang ataupun perilaku dan kondisi. Jenis ini terbagi menjadi tiga subjenis, yaitu sebagai berikut.

1. Ironi

Gaya bahasa ini menggunakan kata-kata yang bertentangan dengan fakta yang ada.

Contoh:

Rapi sekali kamarmu sampai sulit untuk mencari bagian kasur yang bisa ditiduri.

2. Sinisme

Gaya bahasa ini menyampaikan sindiran secara langsung.

Contoh:

Suaramu keras sekali sampai telingaku berdenging dan sakit.

3.Sarkasme

Gaya bahasa ini menyampaikan sindiran secara kasar.

Contoh:

Kamu hanya sampah masyarakat tahu!

d. Majas Penegasan

Majas penegasan merupakan jenis gaya bahasa yang bertujuan meningkatkan pengaruh kepada pembacanya agar menyetujui sebuah ujaran ataupun kejadian. Jenis ini dapat dibagi menjadi tujuh subjenis, yaitu sebagai berikut. 

1. Pleonasme

Gaya bahasa ini menggunakan kata-kata yang bermakna sama sehingga terkesan tidak efektif, namun memang sengaja untuk menegaskan suatu hal.

Contoh:

Ia masuk ke dalam ruangan tersebut dengan wajah semringah.

2. Repetisi

Gaya bahasa ini mengulang kata-kata dalam sebuah kalimat.

Contoh:

Dia pelakunya, dia pencurinya, dia yang mengambil kalungku.

3. Retorika

Gaya bahasa ini memberikan penegasan dalam bentuk kalimat tanya yang tidak perlu dijawab.

Contoh:

Kapan pernah terjadi harga barang kebutuhan pokok turun pada saat menjelang hari raya?

4. Klimaks

Gaya bahasa ini mengurutkan sesuatu dari tingkatan rendah ke tinggi. Contoh: Bayi, anak kecil, remaja, orang dewasa, hingga orang tua seharusnya memiliki asuransi kesehatan. 5. Antiklimaks Berkebalikan dengan klimaks, gaya bahasa untuk antiklimaks menegaskan sesuatu dengan mengurutkan suatu tingkatan dari tinggi ke rendah.

Contoh:

Masyarakat perkotaan, perdesaan, hingga yang tinggi di dusun seharusnya sadar akan kearifan lokalnya masing-masing.

6. Pararelisme

Gaya bahasa ini biasa terdapat dalam puisi, yakni mengulang-ulang sebuah kata dalam berbagai definisi yang berbeda. Jika pengulangannya ada di awal, disebut sebagai anafora. Namun, jika kata yang diulang ada di bagian akhir kalimat, disebut sebagai epifora.

Contoh :

Kasih itu sabar.

Kasih itu lemah lembut.

Kasih itu memaafkan.

7. Tautologi

Gaya bahasa ini menggunakan kata-kata bersinonim untuk menegaskan sebuah kondisi atau ujaran.

Contoh:

Hidup akan terasa tenteram, damai, dan bahagia jika semua anggota keluarga saling menyayangi

Sumber referensi: studiobelajar.com